UDAYA HALIM: 'PROFESOR' YANG MENDIRIKAN MUSEUM DI TENGAH PASAR
Jakarta - Sudah hampir 20 tahun, Udaya Halim alias Lim Cin Peng menetap di Perth, Australia bersama keluarganya. Ia juga pernah melanglang buana ke Eropa untuk berburu ilmu. Tapi secara formal, lelaki kelahiran Tangerang, Banten, 26 Maret 1953 itu cuma mengantongi ijazah SMP.
"Saya sekolah buat mengejar ilmu bukan ijazah. Makanya meski cuma SMP, saya biasa dipanggil profesor oleh murid dan para kolega saya," kata Udaya.
Saat masih di bangku SMP, ia pernah menjadi penjaga kios di Pasar Baru dan Pasar Senen, Jakarta. Sambil menunggu pembeli, Udaya biasa membaca buku-buku yang dibelinya di tukang loak. Ia juga menyisihkan uang jajan dan ongkos oplet untuk belajar bahasa Inggris.
Udaya bekerja serabutan untuk mendapatkan uang. Ia pernah menjadi tukang foto, salesman, hingga desainer. Setelah tabungan dirasa cukup, ia nekad berkelana ke Bournemouth, Inggris, untuk mendapatkan sertifikat kursus bahasa Inggris. "Kalau orang lain kuliah tertinggi S-3, saya itu S-4 atau sempat di University of Life. Tiap ada kesempatan saya belajar," ujarnya berseloroh.
Di awal 1980-an Udaya mendirikan kursus King's English Course hingga kemudian dipercaya menjadi mitra British Council melalui Indonesia-Britain Education Centre (IBEC). Saat ini IBEC merupakan perwakilan 25 perguruan tinggi di Inggris Raya. Udaya juga kemudian mendirikan Prince's Creative School.
"Sebetulnya saya punya kesempatan menjadi businessman seperti kebanyakan orang-orang Tionghoa. Tapi saya pilih bidang pendidikan agar tidak kena stigma kalau Tionghoa cuma pantas jadi pengusaha," paparnya.
Segala sukses itu tak membuatnya lupa dengan kampung kelahirannya. Pada 2007 ia membeli bangunan tua berarsitektur Tionghoa yang kemudian direstorasi menjadi Museum Benteng Heritage. Lokasinya di di Jalan Cilame, Pasar Lama, Tangerang, Banten.
Bangunan itu diperkirakan berusia 200 tahun, dan kini menampung koleksi berupa kebaya encim dan gambang kromong yang 80 persen instrumennya diserap dari Tiongkok. Juga ada rumah kayu, perkakas rumah, kecap Benteng khas Tangerang, dan artefak lain khas Tionghoa Peranakan. Salah satunya adalah Surat menyurat O.K.T (Oey Kim Tiang), penyadur cerita silat dari Tangerang.
Proses restorasi memakan waktu sekitar dua tahun, karena Udaya bolak-balik melakukan riset ke negeri orang untuk mencari literatur atau dokumen terkait kondisi asli bangunan. Juga melakukan beberapa kajian budaya originalitas dari bangunan terjaga seoptimal mungkin.Akhirnya pada 11 November 2011 pukul 20.11, Museum Benteng Heritage diresmikan. Semula peresmian akan dilakukan pada pukul 11. "Tapi aktivitas pasar masih berlangsung jadi terpaksa mundur," ujar Hudaya. Soal kelanjutan museum ini, ia pun tak terlalu cemas. Sebab keempat anaknya menyatakan komitmen untuk terus merawat museum tersebut.
"Saat meresmikan museum, yang membuat pidato adalah anak saya yang baru berumur 10 tahun. Dia bilang akan terus merawatnya. Anak-anak saya itu pada sekolah di Australia, tapi tetap pandai berbahasa Indonesia. Jadi soal nasionalisme kami tak usah diragukan," ujar Udaya.
Dilansir dari : detik.com