OBITUARI MOH. AMIR SUTAARGA
Kalangan permuseuman dan juga kebudayaan Indonesia kehilangan salah satu tokoh mumpuni, Moh Amir Sutaarga. Beliau berpulang kehadapan Tuhan Yang Maha Kuasa pada 1 Juni 2013 pukul 08.05 WIB di Jakarta.
Dalam pengabdiannya selama lebih dari 50 tahun, almarhum telah menunjukan dedikasi, instensitas serta perhatiannya yang mendalam bagi kemajuan kebudayaan negeri ini. Selain sebagai pakar permuseuman, Moh Amir Sutaarga juga merupakan sosok yang dikenal giat memperjuangkan warisan kebudayaan Nusantara melalui tulisan, upaya nyata berikut pemikiran-pemikirannya yang visioner. "Bapak Amir ialah tokoh panutan kebanggaan kita semua. Setiap pandangan dan kiprahnya mencerminkan kecintaan Beliau terhadap pelestarian dan pengembangan kultural bangsa," ujar Putu Supadma Rudana, Ketua Umum Asosiasi Museum Indonesia (AMI) Pusat.
Moh. Amir Sutaarga lahir pada 5 Maret 1928, pernah bercita-cita sebagai awak perkapalan di Belanda. Namun jalan nasib membawa arah perubahan bagi kehidupannya. Oleh karena pecahnya perang pada 5 Maret 1942 di Yogyakarta, ia pun turut memperjuangkan kemerdekaan RI dengan bergerilya bersama kawan dekatnya yang kemudian menjadi arkeolog, Uka Tjandrasasmita. Masa tahanan di penjara Belanda pun dialaminya, yang kemudian kian membuka cakrawalanya atas visi ke-Indonesia-an serta kebudayaan yang luhur.
Pertemuannya dengan van der Hoop, seorang ilmuwan di Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW) turut memberikan sumbangsih penting bagi masa depannya. Ia berkesempatan pergi ke Jakarta, terus menimba ilmu serta membagikan pengetahuannya dalam bidang etnologi. Di sinilah gagasan-gagasan Amir akan pentingnya pendirian sekaligus peran permuseuman dituangkan melalui tulisan, yang kemudian kian mengukuhkannya sebagai salah satu pemerhati kebudayaan yang cerdas lagi bernas. Bahkan, Amir pun mendapat peluang beasiswa permuseuman di Eropa Barat.
Beliau juga dikenal dekat dengan cabang ilmu Antropologi, yang terbukti dari niatannya memasuki jurusan tersebut di Universitas Indonesia selepas dari Eropa. Moh Amir Sutaarga aktif pula dalam Lembaga Museum Nasional, di mana Beliau terus menerus memperjuangkan keluhuran dan kekayaan budaya Indonesia ke tingkat dunia, bersama dengan R. Soekmono, salah seorang arkeolog pertama negeri ini. Upaya ini pun membuahkan berkah karunia kepadanya, di mana pada tahun 1962, Moh Amir Sutaarga diangkat sebagai Kepala Museum Pusat (kini Museum Nasional) yang pertama. Setelah itu, Amir menjadi Direktur Permuseuman, sebelum kemudian dicalonkan oleh Angkatan Darat menjadi Direktur Jendral Kebudayaan, yang lantas ditolaknya secara halus.
Selain pakar kebudayaan, Beliau juga menerjemahkan berbagai karya sastra karangan penulis-penulis luar negeri, salah satunya karya Nawaal el-Shadawi yang berjudul Perempuan di Titik Nol, terbitan Yayasan Obor. Berbagai buku telah pula ditulisnya, termasuk kisah Prabu Siliwangi. Berbagai buku humor pun tak luput ditulisnya, yang kian mempertegas kepribadiannya, bahwa di balik keseriusannya memperhatikan kebudayaan,
Moh Amir Sutaarga juga tidak lepas dari manusia sehari-hari yang jenaka.
"Bapak Amir Sutaarga telah memberikan landasan yang penting bagi dunia permuseuman Indonesia. Selain membuka wawasan dan kesadaran kita akan peranan strategis museum melalui berbagai tulisan, Beliau juga menggagas sekaligus mewujudkan mata kuliah Museologi di Universitas Indonesia pada tahun 1984. Ini merupakan visi yang cemerlang, di mana tentu Beliau menyadari bahwa upaya pengembangan permuseuman harus diselaraskan dengan pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas. Kesadaran seperti inilah yang perlu untuk kita rawat bersama, dengan mengedepankan sinergisitas berbagai pihak dalam usaha memajukan permuseuman sebagai Rumah Budaya Bangsa yang membanggakan," ujar Putu Supadma Rudana.
Moh Amir Sutaarga berpulang dengan meninggalkan enam putra/putri serta 13 cucu. Lebih daripada itu, Beliau telah meletakan sumbangsih yang luar biasa bagi kebudayaan Bangsa. Perjuangan Beliau sedemikian besar dan tulus, meninggalkan berbagai kenangan dan catatan sejarah, yan semoga dapat terus menjadi pengharapan kita untuk terus berupaya melestarikan, mengembangkan serta menggaungkan kebudayaan bangsa.
Selamat jalan, Moh Amir Sutaarga. Semoga amal baik dan pengabdian tulus diterima di sisi Tuhan Yang Maha Esa.